Ai-Ken-Spik-Englis-Peri-Wel Syndrome
Malam belum terlalu larut. Seperti biasa, sesudah mengajar, Riani langsung pulang dengan menggunakan angkot menuju halte busway Jati Padang. Tidak ada yang istimewa yang dia rasakan: hanya melangkahkan kaki menapaki bangunan seng ringkih berwujud jembatan berkelok-kelok pengganti tangga menuju loket karcis. Setelah mengeluarkan selembar uang kertas bergambar Imam Bonjol dan menerima selembar Pattimura dan sekeping Melati beserta sobekan karcis, Riani masuk ke dalam halte dan duduk menunggu. Tak lama, busway datang.
Suasana di dalam bus juga tak terlalu spesial. Setelah menyadari tempat favoritnya di barisan belakang pojok kanan sudah ditempati orang lain, Riani mengarahkan pandangannya ke tengah bus. Ada tempat kosong–yah sebenarnya ada banyak, namun Riani agak pemilih dalam mencari tempat duduk yang sesuai, yang setidaknya tidak tepat terkena sentoran AC busway yang luar biasa kencang dan tidak terlalu berpepet-pepetan dengan tubuh orang lain, terutama om-om. Dia duduk dengan nyaman di bangku ketiga di sebelah kiri badan bus dekat pintu masuk utama, sampai akhirnya menyadari bahwa tiga orang yang berada di depannya tengah berbincang dengan nada yang berbeda.
chrisibiastika 9:42 on 20 September 2008 Permalink |
Dey ting its kul en ekstraordineri, tolking in englis in pron op oder pipel 😉
Black_Claw 4:57 on 27 October 2008 Permalink |
eh itu header rawan owm budi.